Tantangan dan Peluang Demokrasi Pasca Pilkada 2024.
Oleh. Ahmad Fadhly.
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 2024 seharusnya menjadi momen penting bagi demokrasi di Indonesia. Namun, bukannya melahirkan pemimpin-pemimpin baru yang kompeten dan berintegritas, malah, Pilkada 2024 justru menandai kebangkitan kembali dinasti politik yang sarat dengan praktik korupsi. Dinasti tersebut tak hanya mengandalkan kekuatan finansial, tapi juga warisan kekuasaan yang membentang lintas generasi.
Di tengah kegembiraan pesta demokrasi, keberadaan dinasti koruptor menciptakan semangat rakyat berbondong-bondong ke tempat pemungutan suara untuk memilih pemimpin, tetapi pilihan mereka sering kali diarahkan oleh kekuatan uang, manipulasi, dan jaringan politik keluarga yang kuat.
Dinasti politik bukanlah peristiwa baru dalam Pilkada di Indonesia. Banyak keluarga politik mendominasi arena pemilihan, baik di tingkat provinsi, kabupaten, maupun kota.
Keluarga Petualang politik memanfaatkan pengaruh yang telah tertanam, menggunakan jejaring kekuasaan, dan mengandalkan loyalitas birokrasi untuk memastikan kemenangan.
Trend Dinasti koruptor.
Trend tersebut semakin menguat, banyak petahana atau tokoh politik lama mendorong anak, pasangan, atau kerabat dekat mereka untuk maju sebagai calon kepala daerah. Tujuannya sederhana, mempertahankan kendali atas kekuasaan dan aliran sumber daya, sekaligus melindungi kepentingan mereka dari ancaman hukum.
Misalnya, seorang bupati yang telah menjabat dua periode akan mengusung istrinya sebagai calon penerus, sementara anaknya maju sebagai anggota DPRD. Di daerah lain, seorang gubernur petahana mencalonkan saudaranya sebagai pengganti, dengan strategi kampanye yang dibiayai oleh dana tak resmi yang mengalir dari proyek-proyek daerah.
Bahkan parahnya, seorang mantan Bupati terhukum kasus korupsi, istrinya mencalon sebagai Bupati daerah yang sama dan unggul saat pemilihan.
Pilkada sering kali menjadi ajang pembuktian bahwa uang bisa membeli segalanya, termasuk suara rakyat. Dinasti koruptor memanfaatkan kekayaan hasil praktik korupsi untuk mendanai kampanye besar-besaran, termasuk iklan di media massa, baliho, hingga “serangan fajar” berupa pembagian uang tunai atau sembako kepada masyarakat.
Ironisnya saat ini terlihat, tidak hanya masyarakat di wilayah pedesaan dengan tingkat pendidikan dan ekonomi rendah terjebak dalam politik uang, Masyarakat yang tinggal di perkotaan juga ikut dan terbuai dengan politik uang.
Mungkin hal itu terjadi, ketika kebutuhan sehari-hari menjadi prioritas masyarakat, sehingga, tawaran bantuan langsung dari kandidat dinasti koruptor sulit ditolak meskipun mereka sadar bahwa pilihannya akan membawa berakibat buruk untuk jangka panjang.
Selain itu, dinasti koruptor juga memanfaatkan jaringan pengusaha yang loyal untuk mendukung kampanye mereka. Sebagai imbalannya, pengusaha tersebut dijanjikan proyek-proyek strategis setelah kandidat yang mereka dukung memenangkan pelkada.
Sistem demokrasi lokal yang idealnya memberi ruang bagi kompetisi sehat sering kali dimanipulasi oleh dinasti koruptor. Dengan sumber daya yang melimpah, mereka dapat mendikte jalannya Pilkada, mulai dari memengaruhi penyelenggara pemilu, mendiskreditkan lawan politik melalui kampanye hitam, hingga membeli dukungan dari partai politik besar.
Di samping itu, independensi lembaga pengawas pemilu seperti Bawaslu kerap dipertanyakan. Laporan pelanggaran sering kali diabaikan atau ditangani dengan setengah hati, terutama jika pelaku adalah kandidat dengan pengaruh besar. Kondisi ini menciptakan situasi di mana dinasti koruptor semakin leluasa memainkan taktik kotor demi memenangkan Pilkada.
Media massa yang seharusnya menjadi pilar demokrasi untuk mengawasi dan mengedukasi masyarakat, terlihat tidak jarang menjadi alat propaganda bagi dinasti politik. Dengan menguasai media lokal atau memberikan insentif finansial, kandidat dari dinasti koruptor dapat membentuk citra positif, bahkan menutupi jejak-jejak kelam masa lalu.
Dampak Kemenangan Dinasti Koruptor.
Begitu juga dengan media sosial juga menjadi arena baru bagi mereka. Melalui tim kampanye digital, dinasti koruptor memanfaatkan algoritma untuk menjangkau masyarakat luas dengan konten yang memikat, meskipun sering kali penuh dengan informasi yang menyesatkan.
Bila kandidat dari dinasti koruptor memenangkan Pilkada, dampaknya tidak hanya terasa pada aspek politik, tetapi juga ekonomi dan sosial. Korupsi cenderung meningkat karena kekuasaan digunakan untuk membalas budi kepada para pendukung dan kroni. Anggaran daerah yang seharusnya dialokasikan untuk pembangunan sering kali diselewengkan untuk proyek-proyek yang hanya menguntungkan kelompok tertentu.
Akhirnya, Masyarakat terjebak dalam siklus yang sulit diputus. Dengan terpilihnya kembali dinasti koruptor, mereka kehilangan kesempatan untuk mendapatkan pemimpin yang benar-benar peduli pada kesejahteraan rakyat. Akibatnya, kemiskinan dan ketimpangan terus berlangsung, sementara pembangunan berjalan di tempat.
Tidak bisa dipungkiri, Gerakan melawan dinasti koruptor dalam Pilkada masih menghadapi banyak tantangan. Rakyat yang ingin melawan sering kali tidak memiliki sumber daya yang memadai untuk melawan kekuatan dinasti tersebut.
Kandidat alternatif yang potensial pun kerap kesulitan mendapatkan dukungan, selain karena partai politik lebih memilih mengusung tokoh dari dinasti yang sudah mapan, dan masyarakat pemilih kerap terjebak politik uang.
Bangkitnya dinasti koruptor dalam Pilkada 2024 mencerminkan tantangan besar bagi demokrasi Indonesia. Namun, di balik ancaman itu ada peluang untuk membangun kesadaran kolektif dan mendorong perubahan. Dengan upaya bersama dari masyarakat, media, dan lembaga hukum, kita dapat melawan dominasi dinasti koruptor dan memastikan jalan Pemerintahan terawasi dan jauh dari perlakuan korupsi. Semoga…
Penulis Wartawan Zonadinamikanews.com