SUMBAR-zonadinamikanews.com,- Tokoh adat Ulayat Suku Melayu Lareh Batang Sipotar, Kenagarian Lubuk Ulang Aling, Kecamatan Sangir Batang Hari, Kabupaten Solok Selatan, Sumbar, meminta kembali tanah ulayat adat mereka yang dikuasai oleh pihak lain yakni PT. Bukit Raya Mudisa.
Tanah ulayat adat itu sekitar 3.000 hektare yang dahulunya menyerahkan hutan ulayatnya untuk dikelola PT Bukir Raya Mudisa guna pembangunan Hutan tanaman sesuai perizinan (IUPHHK-HTI) Berdasarkan surat Keputusan menteri kehutanan dan perkebunan No. 257/Kpts-II/2000. Hal tersebut disampaikan dalam Akta Notaris yang disepakati pada 24 september 2010.
Dalam perjanjian akta notaris Tokoh adat Ulayat Suku Melayu Lareh Batang Sipotar perwakilan ninik mamak/masyarakat nagari Lubuk Ulang Aling sepakat menyerahkan pengelolaan tanah ulayat tersebut kepada PT. Bukit Raya Mudisa dengan syarat yaitu PT. Bukit Raya Mudisa menyetujui memberikan kopensasi/fee kepada penghulu suku melayu atas kayu alam sebagai wujud penghargaan dan rasa memiliki, dengan nilai kopensasi Kayu Alam Rp. 10.000/m³ (sepuluh ribu rupiah per meter kubik) untuk jenis kayu log, selanjutnya untuk jenis bahan baku serpihan (BBS) sebesar Rp. 5.000/ton (lima ribu rupiah per ton), kopensasi tersebut akan dibayarka setiap bulan setelah kayu sampai ditempat dan ditimbang pabrik industri. Namun hingga saat ini perjanjian kompensasi tersebut tidak diwujudkan oleh pihak PT. Bukit Raya Mudisa.
Undang-Undang mengenai hukum Adat terkait tanah Ulayat di Ranah Minang Sumatera Barat sejauh ini belum ada perubahan. Hal itu tertuang dalam pasal 18 B ayat (2) UUD 1945, “Negara mengakui dan menghormati kesatuan kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI, yang diatur dalam undang-undang.”
Terkait pengaturan Tanah Ulayat, telah disebutkan dalam pasal 3 Undang Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang peraturan dasar pokok-pokok agraria yang berbunyi, “dengan mengingat ketentuan ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak Ulayat dan hak hak yang serupa itu dari masyarakat masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan Nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang dan peraturan peraturan lain yang lebih tinggi”. Untuk di Sumatera Barat, terkait Tanah Ulayat itu juga diperkuat dengan lahirnya Perda Provinsi Sumatera Barat Nomor 6 tahun 2008 tentang Tanah Ulayat dan pemfaatannya pada pasal 1 angka 7 mengartikan, “Tanah Ulayat sebagai bidang tanah pusaka beserta sumberdaya alam yang ada diatasnya dan didalamnya diperoleh secara turun temurun merupakan hak masyarakat hukum adat di Provinsi Sumatera Barat”
Namun, Undang Undang dan Perda tersebut disinyalir tidak berlaku pengelola PT. Bukit Raya Mudisa Kabupaten Solok Selatan, atas nama Penghulu Suku Melayu yang menjadi korban kriminalisasi oleh aparat penegak hukum (APH) dan Pemilik PT. Bukit Raya Mudisa.
Dari tindakan yang dilakukan oleh PT. Bukit Raya Mudisa maka Ninik mamak Suku melayu serta Masyarakat telah banyak mengalami kerugian yang jika ditaksir yakni mencapai Rp. 378.000.000 (tiga ratus tujuh puluh delapan miliyar rupiah), dan Rp. 50.000.000 perhari Dengan rincian:
- Untuk 1 Ha Tanah Ulayat menghasilkan sekitar 150 kubik kayu log dan 200 TON Kayu Chips atau kayu jenis bahan baku serpihan. Yang berarti untuk 3000 Ha berarti Penggugat Penggugat telah mengalami kerugian 3000 x 150 Kubik Kayu Log = 450.000 Kubik Kayu Log dan di tambah dengan 3000 X 200 Ton = 600.000 Ton Kayu Jenis serpihan (Chips).
- Harga 1 KUBIK KAYU Log adalah Rp. 600.000,- (enam ratus ribu rupiah), sedangkan harga 1 Ton Kayu Chips atau kayu serpihan adalah Rp. 180.000,- (seratus delapan puluh ribu rupiah); Sehingganya kerugian dari kayu Log adalah 450.000.- X Rp. 600.000,- -Rp. 270.000.000.000,- (dua ratus tujuh puluh miliar rupiah): Kerugian dari kayu chips (kayu serpihan) adalah 600.000,- X Rp 180.000 Rp. 108.000.000.000,- (seratus delapan miliar rupiah ).
- Sehingganya Penggugat telah mengalami kerugian sekitar Rp. 270.000.000.000,- + Rp. 108.000.000.000.- = Rp. 378.000.000.000,- (tiga ratus tujuh puinh delapan mil’ar rupiah.
Dan kerugian ini haruslah diganti oleh PT. Bukit Raya Mudisa yang telah menghilangkan tanah ulayat suku melayu dalam.
Namun hingga saat ini PT. Bukit Raya Mudisa masih saja melakukan Kegiatan pengelolaan atau pengambilan hasil hutan ulayat suku melayu.
Masyarakat menuntut pemerintah dan PT. Bukit Raya Mudisa menyelesaikan persoalan penggarapan tanah ulayat dan menghentikan kriminalisasi terhadap tokoh masyarakat adat di kenagarian Lubuk Ulang Aling, Kecamatan Sangir Batang Hari, Kabupaten Solok Selatan.
Kami minta pemerintah serta APH tindak tegas Kriminalisasi yang dilakukan oleh pihak PT. Bukit Raya Mudisa terhadap tanah ulayat suku melayu Dalam Lareh Batang Sipotar Nagari Lubuk Ulang Aling.
(z)