SUMUT-Zonadinamikanews.com.
Hingga kini, penyidik belum juga menetapkan status hukum kasus dugaan korupsi pengadaan kacamata baca dan kelebihan bayar JKN di Dinkes Sumut, Rabu (07/5/2025).
Kejati Sumut belum menetapkan siapa tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan kacamata baca melalui e-purchasing sebanyak 68.000 buah dan kelebihan bayar iuran JKN bagi penduduk PBPU dan BP Kelas III sebesar Rp302.891.400 itu.
Kasi Penkum Kejati Sumut, Adre Wanda Ginting SH, ketika dikonfirmasi menjelaskan, surat laporan tertanggal 16 Maret 2025 yang disampaikan Farasut sedang ditelaah oleh pihaknya, Senin 28 April 2025.
Diketahui, laporan yang disampaikan Farasut itu, adalah terkait temuan hasil audit BPK Perwakilan Sumut tahun anggaran 2023. BPK merilis, realisasi belanja kacamata baca pada Dinkes Sumut yang diperuntukkan bagi program pelayanan kesehatan berupa PKB dan BKB, yang didistribusikan ke kabupaten/kota se-Sumut untuk selanjutnya diserahkan kepada masyarakat.
Hasil pengujian atas dokumen pengadaan berupa KAK, surat pesanan, BAST, riwayat negosiasi, pemeriksaan fisik barang, konfirmasi kepada Wakil Direktur CV TB, dan permintaan keterangan kepada KPA selaku PPK Dinkes, terjadi berbagai permasalahan.
BPK menyebut, sebelum melakukan pemesanan, KPA telah melakukan survei ke beberapa toko optik untuk mengetahui harga pasaran kacamata baca dan spesifikasi teknisnya. Berdasarkan hasil survei tersebut, KPA memperhitungkan preferensi harga kacamata baca setelah ditambah pajak dan keuntungan.
Menurut BPK, berdasarkan data riwayat transaksi CV TB, diketahui bahwa CV TB mengunggah harga kacamata baca di aplikasi e-Katalog berdekatan dengan waktu pengajuan permintaan dari Dinkes Sumut.
Hasil permintaan keterangan dari Wakil Direktur CV TB menunjukkan bahwa CV TB dapat menyajikan informasi harga dan spesifikasi yang sama dengan preferensi harga kacamata dari Dinkes Sumut, karena CV TB melakukan survei dari toko yang sama yang disurvei oleh KPA.
Hasil negosiasi di aplikasi e-katalog, diperoleh harga yang disepakati untuk pemesanan kacamata baca dengan jumlah total kacamata sebanyak 68.800 buah. Setelah menerima pesanan dari Dinkes Sumut, CV TB melakukan pemesanan ke produsen kacamata baca, yaitu PT AI.
Hasil pemeriksaan lebihlanjut atas surat pesanan dan konfirmasi dari PT AI menunjukkan informasi harga satuan kacamata baca. Harga tersebut sudah termasuk kotak kacamata dan kain pembersih serta PPn.
Dari harga tersebut, pemeriksa melakukan penghitungan biaya riil pemesanan kacamata dengan menambahkan biaya kirim, over head, dan keuntungan oleh penyedia.
Menurut BPK, hal itu tidak sesuai Perpres No 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, sebagaimana diubah dengan Perpres 12 Tahun 2021 pada Pasal 7 Ayat (1) yang menyatakan bahwa semua pihak yang terlibat dalam pengadaan barang/jasa mematuhi etika, menghindari dan mencegah pemborosan dan kebocoran anggaran negara.
Sementara, Kabid Yankes, dr Nelly Fitriani, saat dikonfirmasi melalui pesan WhatsApp, Selasa 29 April 2025 lalu terkait hal tersebut, malah mengarahkan agar menemui Sekretaris Dinkes Sumut, Hamid Rizal.
Namun, Hamid Rizal yang juga mantan Kabag Keuangan Dinkes Kabupaten Langkat itu, ketika dikonfirmasi di kantornya tak bersedia ditemui media, Rabu 30 April 2025.
Nelly Fitriani yang memiliki harta kekayaan sesuai LHKPN ke KPK Periodik 2023 sebesar Rp2.600.673.287 itu, terkesan sengaja mempermainkan media.
Kasus BOK di Dinkes Langkat
Masih jelas dalam ingatan, Kejari Langkat mengungkap kasus dugaan suap hasil pemotongan dana BOK, yang mencengangkan karena diduga melibatkan banyak pihak.
Kasus dugaan ‘sunat menyunat’ dana BOK di Dinkes Kabupaten Langkat itu menjerat seorang mantan Kepala Puskesmas Desa Teluk, dr Hj Evi Diana.
Merasa terdzolimi karena dijadikan tersangka, Evi menyeret nama pejabat lain yang diyakininya sebagai orang yang menerima aliran dana hasil pungutan liar itu.
Evi menyebut, nama pejabat yang menerima uang suap itu adalah Kabag Keuangan Dinkes Kabupaten Langkat bernama Hamid Rizal. Dalam fakta persidangan, Evi menyebut bahwa uang hasil korupsi itu mengalir ke pejabat Dinkes Kabupaten Langkat.
Evi mengatakan, uang setoran korupsi itu berasal dari pungutan liar dana BOK, yang diserahkan langsung oleh bendaharanya kepada Hamid Rizal. “Ke bagian keuangan bernama Hamid Rizal,” ungkap Evi dalam persidangan lanjutan yang digelar di PN Tipikor Medan, Senin 26 Juli 2021 lalu.
Selain itu, Evi mengaku tidak bisa menolak kebiasaan pungutan liar tersebut, setelah berbincang-bincang dengan bendahara lamanya bernama Siti Syarifah. Menurutnya, Siti Syarifah kembali meneruskan ‘kebiasaan buruk’ itu sebesar 40% biaya transportasi dari mata anggaran BOK Puskesmas Tahun 2017, di kala dia baru menjabat.
Evi menjelaskan, untuk tahun 2018 dan 2019, biaya transportasi per triwulan ditransfer ke rekening tiap bidang desa dan pegawai lainnya. Mereka kemudian menyetorkan 40% kepada bendahara yang baru, Muhammad Ridwan.
“Saya juga ikut dipotong (biaya transportasi) yang mulia. Kalau untuk Dinkes saya siap yang mulia. Ada memang sisa pungutan dipegang bendahara. Sebagian disisihkan untuk biaya taktis saya sebagai Kepala Puskesmas,” ungkap Evi dalam persidangan itu tanpa tedeng aling-aling.
Dalam dakwaan jaksa disebutkan, pungutan liar uang transportasi yang terjadi di Puskesmas Desa Teluk itu sejak tahun 2017 hingga 2019 dengan total Rp229.510.000.
Kutipan di tahun 2017 sebesar Rp77.080.000, tahun 2018 sebesar Rp34.160.000 + Rp41.160.000, dan tahun 2019 sebesar Rp77.110.000.
Namun, orang-orang yang namanya disebut Evi menerima dan menikmati aliran dana ‘haram’ itu, hingga kini tak diproses secara hukum oleh penyidik. (m/Tim)